Jumat, 04 November 2011

HUBUNGAN HUKUM,PEMERINTAH DAN NEGARA

Hubungan antara Hukum,Negara dan Pemerintah

Hukum
 adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa "Sebuah supremasi hukum akan jauh lebih baik dari pada dibandingkan dengan peraturan tirani yang merajalela."
Negara 
adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Negara juga merupakan suatu wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah tersebut, dan berdiri secara independent.
Syarat primer sebuah negara adalah memiliki rakyat, memiliki wilayah, dan memiliki pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan syarat sekundernya adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.



Pemerintah
pemerintah adalah sebagian atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan untuk pemerintah, atau lebih simple lagi pemerintah adalah sekelompok orang yang memberikan pemerintah. Namun secara keilmuan, Pemerintah diartikan dalam beberapa definisi, antara lain ada pula yang mendefinisikan sebagai  lembaga-lembaga atu badan public yang mempunyai fungsi dan tujuan Negara, ada pula yang mendefinisikan sebagai sekumpulan orang-orang yang mengelola kewenangan-kewenangan, melakasanakan kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan serta masyarakat dari lembaga-lembaga dimana mereka ditempatkan.
Contohnya : Camat,lurah,PNS dll

Hubungan antara hukum dan negara.
Diantara para sarjana ada dua pendapat tentang hubungan hukum dengan
Negara itu. Sebagain ada yang membedakan antara hukum dengan Negara itu, dan
ada pula yang menyamakannya. Yang mengidentikkan Negara dengan hukum itu
ialah Kelsen. Kelsen mengakui bahwa Negara terikat kepada hukum, namun tatanan
Negara dan tatanan hukum itu sama, hanya Negara adalah system norma-norma.
Menurut Kelsen, Negara ialah kerukunan yang telah ditatan (Zwangs ordnung),
tatanan yang dipertahankan oleh paksakan, dimana terdapak hak memerintah dan
kewajiban menurut, sehingga dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Negara dan
hukum adalah sama. Menurut Kelsen, kalau Negara telah dipandang sebagai kesatuan
tatana-tatanan, maka tidak terdapat kemungkinan lain untuk membedakannya dengan
hukum. Negara dan hukum termasuk dlam katagori yang sama, yaitu “tatanan
normative”. Wujud norma hukum dilihat dalam sifatpaksa itu, maka secara sama
hukum dan Negara adalah tatanan-tatanan paksa dalam arti system norma-norma
yang mengatur secara paksa. Arti kata tujuan negara berakhir pada definisi hukum.
Adlah picik apabila kita memandang alat-alat paksaan dan kekuasaan Negara itu
sebagai barangbarang nyata seperti senjata, benteng, alat-alat produksi dan
sebagainya, seperti yang dikatakan Lassale : “Negara adalah meriam-meriam dan
bayonet-bayonet tentara, kelewang-kelewang dan revolver-revolver polisi. Menurut
Kelsen, semua itu adalah barang-barang mati, yang tidak dapat bergerak tanpa
digerakkan oleh manusia. Aturan atau norma perbuatan manusia itulah yang
menentukan, yang menjadi tujuan sebenarnya. Kekuasaan itu tidak terletak pada
wujud barang-barang itu. Kekuasaan social terletak dalam kekuatan pendorong
tanggapan norma-norma tertentu. Negara sebagai kekuasaan tidak berdiri di belakang
norma-norma hukum. Negara itu adalah tatanan cita-cita yang telah menjadi
kenyataan. Sedetik saja kekuatan pendorong ideology ini hilang, maka hilnglah
kekuasaan Negara itu, walaupun jumlah senapan mesin tidak berubah. Demikianlah
pendapat Kelsen yang telah mengidentikkan Negara dengan hukum.
Pendapat Kelsen di atas ditanggapi oleh Kranenburg. Ia mengakui bahwa
kekuasaan itu bukan barang, tetapi proses-prose psikis. Negara adalah gejala psikis,
dan Negara adalah sebuah system yang teratur ; begitu juga hukum adalah gejala
psikis, dan tatanan hukum juga adalah system yang teratur. Namun kata Kranenburg
hal itu tidak menjadikan Negara identik dengan hukum. Ia mengatakan bahwa Kelsen
telah membuat kesalahan logis dengan mengambil kesimpulan bahwa tatanan Negara
dan tatanan hukum dapat dimasukkan dalam satu pengertian yang lebih luas dan lebih
tinggi, sehingga kedua-duanya termasuk dalam arti umum system, yaitu gejala-gejala
yang satu dengan yang lain tersangkut paut dan tersusun bulat, dan kedua-duanya
juga termasuk dalam system gejala-gejala yang akhirnya setelah dianalisis ternyata
bersifat psikis.
Dilihat dari sudut bahasa, menurut Kranenburg, Negara dan hukum itu tidak
sama. Ia memberikan contoh-contoh istilah : tindakan Negara, pertanggungjawaban
Negara, kepala Negara, kepentingan Negara, apabila kata “Negara” pada istilah itu
digerakkan oleh manusia. Aturan atau norma perbuatan manusia itulah yang
menentukan, yang menjadi tujuan sebenarnya. Kekuasaan itu tidak terletak pada
wujud barang-barang itu. Kekuasaan social terletak dalam kekuatan pendorong
tanggapan norma-norma tertentu. Negara sebagai kekuasaan tidak berdiri di belakang
norma-norma hukum. Negara itu adalah tatanan cita-cita yang telah menjadi
kenyataan. Sedetik saja kekuatan pendorong ideology ini hilang, maka hilnglah
kekuasaan Negara itu, walaupun jumlah senapan mesin tidak berubah. Demikianlah
pendapat Kelsen yang telah mengidentikkan Negara dengan hukum.
Pendapat Kelsen di atas ditanggapi oleh Kranenburg. Ia mengakui bahwa
kekuasaan itu bukan barang, tetapi proses-prose psikis. Negara adalah gejala psikis,
dan Negara adalah sebuah system yang teratur ; begitu juga hukum adalah gejala
psikis, dan tatanan hukum juga adalah system yang teratur. Namun kata Kranenburg
hal itu tidak menjadikan Negara identik dengan hukum. Ia mengatakan bahwa Kelsen
telah membuat kesalahan logis dengan mengambil kesimpulan bahwa tatanan Negara
dan tatanan hukum dapat dimasukkan dalam satu pengertian yang lebih luas dan lebih
tinggi, sehingga kedua-duanya termasuk dalam arti umum system, yaitu gejala-gejala
yang satu dengan yang lain tersangkut paut dan tersusun bulat, dan kedua-duanya
juga termasuk dalam system gejala-gejala yang akhirnya setelah dianalisis ternyata
bersifat psikis.
Dilihat dari sudut bahasa, menurut Kranenburg, Negara dan hukum itu tidak
sama. Ia memberikan contoh-contoh istilah : tindakan Negara, pertanggungjawaban
Negara, kepala Negara, kepentingan Negara, apabila kata “Negara” pada istilah itu
            Diganti dengan istilah hukum, jelas menjadi berubah artinya. Karenanya Kranenburgt
berkesimpilan bahwa Negara itu identik dengan hukum.
Dalam kaitannya antara Negara dan hukum, saya sependapat dengan
Kranenburg bahwa Negara tidak identik dengan hukum. Saya mencoba melihatnya
dari segi lain yaitu dari segi hukum maka Negara sebagai organisasi kekuasaan dapat
memaksakan sanksinya terhadap si pelanggar itu. Dalam hal inipun jelas terlihat
perbedaan antara Negara dan hukum ini. Tentang sanksi hukum ini akan dibahas
dalam uraian selanjutnya.
Hubungan hukum dan pemerintah
Uraian mengenai hubungan hukum dan kekuasaan, antara lain ditemukan dalam
tulisan Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., L.L.M., Dr. E. Utrecht, S.H., Prof.
Mr. Dr. van Apeldoorn, dan lain-lain. Dalam uraian ini akan dikemukakan pendapat
dari ketiga pakar tersebut.
Prof. Mochtar dalam tulisannya yang berjudul : “Fungsi dan Perkembangan
Hukum dalam Pembangunan Nasional, antara lain mengulas tentang hubungan
hukum dengan kekuasan ini. Pertama-tama beliau mengajukan pertanyaan : “samakah
kekuasaan (power) dengan kekuatan (force) ?. Menurut beliau orang yang memiliki
kekuatan (fisik) sering juga berkuasa, sehingga ada kecenderungan setengah orang
untuk menyamakan saja kekuasaan (power) itu dengan kekuatan (force), namun
adakalanya bahkan sering tidak demikian. Sering kita melihat seseorang yang
berkekuatan dikuasai oleh seorang yang fisik lemah. Cukup kita ingat pada “kaum
yang lemah” untuk berkesimpulan bahwa kekuasaan itu tidak tidak selalu menyertai
kekuatan dan sebaliknya. Ini disebabkan karena kekuasaan tidak selalu, bahkan sering
tidak bersumber pada kekuatan fisik.
Kekuasaan sering bersumber pada wewenang formil (formal authority) yang
memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau suatu fihak dalam
suatu bidang tertentu. Dalam hal demikian dapat dikatakan, bahwa kekuasaan itu
bersumber pada hukum, yang ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemeberian
wewenang tadi, Mengingat bahwa hukum itu memerlukan paksaan bagi pentaatan
ketentuan-ketentuannya, maka dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasankekuasaan
bagi penegaknya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan merupakan
kaidah social yang berisikan anjuran belaka. Sebaliknya, hukum berbeda dari kaidah
social lainnya, yang juga mengenal bentuk-bentuk paksaan, dalam hal bahwa
kekuasaan memaksa itu sendiri diatur, baik mengenai cara, mupun ruang gerak atau
pelaksanannya oleh hukum. Kita mengenal polisi, kejaksaan dan pengadilan, sebagai
pemaksaan atau penegak hukum Negara yang masing-masing ditentukan batas-batas
wewenangnya.
Beliau menyimpulkan hubungan hukum dengan kekuasaan dalam masyarakat
sebagai berikut : hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanannya, sebaliknya
kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara popular,
kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan : hukum tanpa kekuasaan
adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.
Menurut beliau dari kesimpulan di atas dapat ditarik kesimpulan selanjutnya
bahwa kekuasaan merupakan suatu unsure yang mutlak dalam suatu masyarakat
hukum dalam arti masyarakat yang diatur oleh dan berdasarkan hukum. Secara
analitik, dapat barangkali dikatakan bahwa kekuasaan merupakan suatu fungsi
daripada masyarakat yang teratur. Kesimpulan ini memaksa kita untuk mencoba
menyalami lebih jauh fenomena kekuasaan yang demikian pentingnya dalam
kehidupan bermasyarakat itu. Apakah hakekat pemerintah itu ?.
Di atas telah dikatakan bahwa kekuasaan sering berjatuhan sama dengan
kekuatan fisik (termasuk senjata) dan bahwa kekuasaan itu dimiliki oleh orang yang
berwenang, karena itu dikatakan bahwa kekuatan fisik (forse) dan wewenang resmi
(formal authority) merupakan dua sumber daripada kekuasaan. Dapatkah lalu kita
katakana bahwa kekuasaan itu adalah wewenang dan kekuatan ?.
Menurut beliau jawabannya adalah tidak, Sebab walaupun bagi suatu anggapan
yang terbatas tentang kekuasaan, definisi demikian mungkin benar, pengamatan
kenyataan social menunjukkan bahwa anggapan demikian tidak memadai.
Adakalanya orang yang formil mempunyai wewenang formil dan kekuatan fisik
dalam keadaan tertentu dalam kenyataannya tidak memiliki atau tidak (dapat)
melaksanakan kekuasaannya. Kenyataan ini memaksa kita menarik kesimpulan
bahwa wewenang formil dan kekuatan fisik, bukan satu-satunya sumber kekuasaan.
Memang dalam kenyataan, orang yang memilki pengaruh politik atau keagamaan,
dapat lebih berkuasa dari yang berwenang atau memiliki kekuasaan fisik (senjata).
Kekayaan (uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber
kekuasaan yang penting, sedangkan dalam keadaan-keadaan tertentu kejujuran, moral
yang tinggi dan pengetahuannpun tak dapat diabaikan sebagai sumber kekuasaan.
Jadi kekuasaan itu adalah fenomena yang aneka ragam bentuknya (polyform) dan
banyak macam sumbernya. Hanya hakekat kekuasaan dalam pelbagai bentuk itu tetap
sama yaitu kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya pada fihak lain.
Disamping bentuk perwujudannya serta sumber-sumber yang berlainan,
kekuasaan itu menurut pengamatan sejarah membpunyai suatu sifat khas yakni ia
Sumber pustaka:
Ø  Fakultas ilmu sosial dan hukum universitas padjadjaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar